Setiap orang punya mimpi. Bedanya, ada yang terus berangan-angan, bermimpi di atas awan, menebar citra keberhasilan walau menuai ketidakpuasan dan keraguan, tetapi ada yang berani mewujudkan dengan risiko apa pun.
Dynand Fariz (44) termasuk yang terakhir. Dari Jember, Jawa Timur, dia berani bermimpi besar dan mengambil berbagai risko untuk untuk membuat dunia menoleh ke Jember. Jember Fashion Carnaval yang dia rintis pada tahun 2000 semakin dikenal di tingkat nasional dan tahun lalu mulai diundang ke luar Indonesia.
Ide membuat Jember Fashion Carnaval memang tidak biasa. Kabupaten di Jawa Timur itu termasuk daerah tapal kuda yang penduduknya mayoritas beragama Islam dan relatif taat. Jember juga daerah agraris yang tidak identik dengan kultur fashion sebagai gaya hidup. Tetapi, itu bukan halangan Fariz mewujudkan impian.
Tahun 2000 dia memulai Jember Fashion Carnaval (JFC) dengan mendirikan konsultan mode Dynand Fariz Center di Jember. "Saat itu orang-orang di sana belum kenal apa itu fashion. Saya memperkenalkan konsultasi mode, antara lain untuk mereka yang bentuk tubuhnya tidak ideal. Saya juga memperkenalkan konsep model (peragawati) kepada masyarakat Jember," tutur Fariz dalam percakapan dua pekan lalu.
Dalam percakapan kami tahun 1998 seusai mengikuti lomba perancang muda ASEAN di Singapura, Fariz sudah mengatakan angan-angannya membuat kegiatan mode. Saat itu dia belum dapat menyebutkan wujud kegiatan tersebut.
Menjadi perancang menjadi pilihan Fariz justru setelah dia menjadi pengajar di IKIP Surabaya. Ketika membuat Dynand Fariz Center dia ingin membuat pergelaran rancangannya rutin tiap tahun, seperti tuntutan industri mode kepada perancang untuk memperkenalkan ide dan kreasi terbaru secara ajek.
"Tetapi, aku kemudian berpikir itu kurang menantang dan akan sulit mengimbangi Biyan Wanaatmadja atau Sebastian Gunawan," cetus pengajar di sekolah mode Esmod Jakarta itu.
Dia juga kesulitan membagi perhatiannya pada kegiatan di dua kota itu, meskipun setiap akhir pekan dia selalu mudik ke Jember. Cita-cita dan kreativitasnya lalu dia alihkan pada minatnya yang lain, yaitu dunia hiburan, dan wujudnya karnaval mode.
Bertindak lokal
Tidak ada yang percaya awalnya Fariz akan berhasil membuat Jember Fashion Carnaval. Untuk ukuran Indonesia, pusat mode adalah Jakarta, tempat arah mode Indonesia dilahirkan, tempat para pengikut mode, dan tentu saja kota di mana para perancang Indonesia membangun karier mereka. Adapun Jember yang berada di daerah tapal kuda lebih sering masuk berita setelah reformasi 1998 karena konflik horizontal.
Fariz mengubah citra itu dengan acara fashion di tingkat lokal, di Jember tempat kelahirannya. Ketikkan frasa Jember Fashion Carnaval pada mesin pencari Google, maka akan muncul 2.980 entri. Dia mematahkan klaim mode hanya untuk mereka di kota besar. Dari Jember, Fariz berhasil menarik perhatian dunia ketika kantor berita dan media internasional menurunkan laporan mengenai JFC.
Anda jangan membayangkan JFC seperti pergelaran mode di Jakarta, Hongkong, Tokyo, Paris, New York, Milan, atau London. JFC tidak memaksudkan diri sebagai pembuat dan penentu arah mode. Paling tidak saat ini belum. JFC adalah karnaval yang mengambil Rio de Janeiro sebagai pembanding, tetapi ide-idenya dikaitkan dengan perubahan arah mode.
Tahun 2002 Fariz membuat pergelaran JFC-nya yang pertama. Acara dibuat selama seminggu dengan mengajak 30 teman-temannya di Jember. Sebagai guru sekolah mode bertaraf internasional Fariz tidak kesulitan mendapatkan informasi mengenai arah mode yang dia terapkan pada karnaval itu.
"Saya ambil tujuh tema, antara lain punk, gipsi, koboi, androgini, dan romantis. Kami menggunakan apa saja yang dipunyai teman-teman saat itu yang kemudian kami desain ulang," tutur Fariz.
Mereka berjalan keliling kampung-kampung di Jember dari pukul 09.00 sampai sekitar pukul 11.00, dipimpin Fariz. "Saat itu masih kerap ada demo. Orang-orang yang kami lewati masih bingung. Ada sekolah dan kantor yang menutup pintu pagarnya ketika kami lewat," kenang Fariz.
"Hari-hari berikutnya orang- orang malah menunggu kami lewat dan karnaval hari Minggu kami adakan di alun-alun. Saat itu musik masih pakai tape dengan pengeras suara, kami naikkan becak. Penyelenggaraannya awal Agustus.
"Jam lima pagi kami sudah siap di alun-alun kota dan jam setengah enam sudah mulai jalan. Kami dandan dari jam satu sampai jam tigaan pagi, peserta jadi 50 orang. Ternyata sambutannya meriah. Kami sampai diminta berputar dua kali."
Tidak menyerah
Setiap perubahan biasanya membawa reaksi. Begitu juga pengalaman Fariz. Banyak yang menyambut gembira JFC, termasuk pemerintah kabupaten, ada pula yang keberatan dengan alasan tak sesuai budaya lokal.
"Ada yang memprotes, katanya saya membawa-bawa budaya global ke Jember, tidak sesuai dengan agama dan budaya lokal" tutur Fariz. "Padahal, sambutan masyarakat yang kami temui sepanjang jalan saat karnaval adalah masyarakat yang butuh hiburan, haus pengetahuan, dan selalu bertanya, ’Tahun depan apa?’ ’Selamat, ya’."
"Katanya saya membawa budaya global yang mereka identikkan dengan serba terbuka, erotis, seksi. Memang dalam salah satu tema pernah diangkat tema India yang memang kelihatan sebagian perutnya.
"Saya pikir, perlu waktu untuk menjelaskan konsep JFC. Saya kemudian tanyakan budaya lokal seperti apa yang dimaksud, saya tidak mendapatkan jawaban yang jelas. Tetapi, ada juga budayawan yang dituakan di sana yang setelah melihat sendiri JFC langsung mendukung."
JFC bisa menjadi cermin perbenturan di masyarakat lokal akibat globalisasi. Konsep fashion dan tren dibawa melalui globalisasi informasi dan pasar, sesuatu yang sebelumnya tak dikenal di Jember, yang hidup dalam kultur budidaya pertanian.
Ketika kontroversi menguat, DPRD pun sempat turun tangan. Seminggu sebelum penyelenggaraan keempat JFC tahun 2005, sidang digelar di DPRD Jember membahas acara itu. "Sebagian fraksi mendukung, sebagian yang lain menolak dengan alasan Jember kota religius, JFC merusak generasi muda, dan masyarakat keberatan. Saya pertanyakan kembali, masyarakat mana yang keberatan sebab 100.000-an penonton setuju dan mendukung JFC," kata Fariz. "Saya lalu mengundang 50 anggota Dewan menyaksikan langsung JFC sebab selama ini mereka baru mendengar ’katanya-katanya’. Dukungan media massa luar biasa dan kekhawatiran anggota Dewan tidak terbukti."
Bulan Agustus lalu JFC digelar untuk yang keenam kalinya di jalan sepanjang 3,6 kilometer, diikuti 450 peserta, dan diperkirakan ditonton 150.000-an orang dari Jember dan kota-kota di sekitarnya. Setiap tahun JFC selalu mendapat liputan media nasional dan internasional karena temanya selalu berganti mengikuti perubahan mode dunia.
JFC juga diundang berpartisipasi oleh Sardono W Kusumo dalam Parade Budaya menyambut 17 Agustus 2006 di Monas Jakarta, selain Bali Fashion Week di Kuta dan Parade Kutai Kartanegara. Bulan Juli 2007 enam anggota JFC termasuk Fariz diundang berpartisipasi di Jambore Ke-100 Pramuka Internasional di London, Inggris, dan diundang KBRI di India untuk tampil dalam peringatan hari kemerdekaan Indonesia di Mumbai.
Budaya tandingan
Meskipun telah memasuki tahun keenam, Fariz bukannya tak menghadapi tantangan dari mereka yang masih mengecilkan JFC. Namun, Fariz jalan terus dan terbukti JFC ikut mengubah wajah kota. Kini di Jember bertebaran distro yang menawarkan barang mode sehingga ekonomi kota pun semakin dinamis.
Dia masih memegang konsep 4 E: education, entertainment, exhibition, dan economic benefit dalam JFC. Meskipun mode identik dengan dunia konsumsi, Fariz justru mendorong penggunaan barang daur ulang pada setiap peserta karnaval. Bulu-bulu burung yang mereka kenakan sebagai hiasan kepala dan tubuh, misalnya, berasal dari bulu ayam pembersih debu.
"Setiap kali membeli barang, peserta karnaval sudah diajak memikirkan bisa dibuat apa isi dan kemasan barang itu. Saya marah kalau tidak membuat kostum dari daur ulang baju, barang, dan limbah yang ada," jelas Fariz. Inilah perwujudan mimpi yang berjalan sesuai semangat zaman yang ingin membatasi konsumsi untuk menghentikan pemanasan suhu Bumi dan perubahan iklim global.
Di luar itu, Fariz juga tak ingin dikooptasi industri besar yang ingin mensponsori, tetapi juga menggunakan JFC untuk ajang promosi. "Saya menolak karena itu artinya JFC tidak lagi total untuk Jember dan untuk Indonesia," tandas Fariz. "Anak-anak juga nanti jadi tidak spontan lagi mendukung, belum lagi perizinan jadi ribet."
Paling tidak sampai saat ini Fariz berhasil memperkenalkan Jember yang plural dan toleran kepada dunia seraya tetap mempertahankan identitasnya.
sumber : Kompas (6 Januari 2008)
0 Comments:
Posting Komentar